Sama seperti kasus yang umum terjadi di seluruh negeri, di Tokyo pun diproyeksikan pada tahun 2050 akan mengalami penurunan populasi. Hal itu akan menyebabkan ketidakseimbangan penduduk dan dapat menurunkan konsentrasi pembangunan di wilayah Tokyo sehingga bisa membuat daerah lainnya mengalami ‘kolaps’. Pada tahun 2050 nanti, diprediksi penduduk Jepang hanya berjumlah 3/4 dari jumlah saat ini, yaitu hampir 128 jutaan. Jika masalah ini nantinya menerjang Tokyo, maka banyak konsekuensi yang harus ditanggung, misalnya infrastruktur wilayah yang begitu besar.
Profesor Ohno berusaha untuk mengantisipasi penyusutan di Tokyo tersebut. Beserta timnya, mereka mengajukan sebuah konsep bertitel ‘Fibercity’. Ini merupakan konsep perancangan yang di dalamnya mengandung beberapa filosofi yang mentransformasikan pendekatan modern yang umum digunakan pada desain kota dewasa ini kepada sebuah sistem baru dengan landasan pendekatan kemudahan untuk mengalir (fluidity) dan kecepatan (speed). Konsep ini menyangkut perubahan target desain, dari sebuah permukaan yang luas (surface) ke pendekatan garis (line) yang fleksibel. Perubahan karakter dalam sebuah sistem, dari kedinamisan ruang kota (dynamic) yang dicapai melalui beberapa tipe disain khas kota beralih kepada kemudahan untuk mengalir (fluidity) yang tidak hanya tergantung pada ruang sebagai medianya namun juga pada lalu lintas (traffic) dan transport antarruang. Perubahan fungsi dari berbagai fungsi yang penuh batas (boundary) dari saling pisah (separation) melebur kedalam bentuk saling berinteraksi (interaction) yang memunculkan pertukaran (exchange). Kota sebagai lahan produksi atau komersial tak berarti lagi tanpa eksistensi fungsi informasi dan pengetahuan. Perubahan gambaran sistem organisasi (image system) dari mesin (machine) yang sangat tergantung dengan konsep awal untuk sebuah fungsi apa ia bergerak beralih kepada konsep pabrik (fabric) yang lebih fleksibel dan beragam. Gubahan strategi disain, dari penemuan (inventing) yang sering mengabaikan sejarah atau tautan konteks bergeser menjadi pembenahan (editing) berupa pengaturan kembali atau pun penyesuaian elemen-elemen kota yang ada. Dengan adanya konsep dari Ohno ini, proses perancangan kota dapat dilakukan dengan lebih mudah dan simple.
Dari beberapa pendekatan dasar yang telah dicanangkan, didapatlah 4 strategi untuk Tokyo di tahun 2050 yang menjadi satu kesatuan dalam sebuah nama ‘Fibercity’. Keempat strategi tersebut adalah sebagai berikut:
1.Jejari hijau (green finger): pengorganisasian kembali daerah ’suburb’ Tokyo yang merana akibat efek penyusutan penduduk. Dengan tetap mempertahankan zona permukiman sepanjang rel kereta yang makin dekat ke stasiun makin padat serta dikelilingi oleh ruang hijau, sehingga membentuk jejaring kota kompak sepanjang jalur rel (transport) yang dihubungkan memusat menuju pusat kota.
2.Partisi hijau (green partition): secara kontinyu membuat daerah pusat kota yang padat dan terdiri dari banyak konstruksi kayu sebagai daerah resiko tinggi saat bencana alam terjadi, menjadi hijau. Jalur hijau dengan lebar minimal 4 m ini disamping sebagai sekat atau partisi meluasnya kerusakan dan kebakaran saat bencana juga bermanfaat sebagai petunjuk jalur evakuasi. Partisi hijau ini bisa memanfaatkan lot-lot kosong yang ‘ditinggal’ oleh penduduk, sehingga hasil akhir rancangan pun belum terlihat secara jelas.
3.Jejaring hijau (green web): membantu mengkonversi fungsi lalu lintas pada jalan raya lingkar di Tokyo menjadi fungsi jalur linier hijau yang berfungsi ganda sebagai jalur bantuan saat terjadinya bencana alam. Meskipun sebenarnya beban kendaraan saat bencana tentu akan lebih besar sekitar 20% tapi karena penyusutan penduduk sekitar 25% maka pengalihfungsian ini masih dianggap layak (feasible).
4.Kerutan kota (urban wringkle) yang diujudkan melalui spot-spot linier khusus atau pun berupa ‘meisho’ di dalam kota yang merepresentasikan optimalisasi ‘dialog’ antara lansekap lingkungan kota dan sejarah yang dibawanya.
Dengan adanya strategi dari Profesor Ohno tersebut, Tokyo kini dapat tetap melakukan pembangunan dengan lancar dan terus berkembang seperti sekarang ini, dan masih tetap terus berkembang.
sumber : http://www.kamusilmiah.com/arsitek/fibercity-disain-kota-tokyo-di-tahun-2050/
Profesor Ohno berusaha untuk mengantisipasi penyusutan di Tokyo tersebut. Beserta timnya, mereka mengajukan sebuah konsep bertitel ‘Fibercity’. Ini merupakan konsep perancangan yang di dalamnya mengandung beberapa filosofi yang mentransformasikan pendekatan modern yang umum digunakan pada desain kota dewasa ini kepada sebuah sistem baru dengan landasan pendekatan kemudahan untuk mengalir (fluidity) dan kecepatan (speed). Konsep ini menyangkut perubahan target desain, dari sebuah permukaan yang luas (surface) ke pendekatan garis (line) yang fleksibel. Perubahan karakter dalam sebuah sistem, dari kedinamisan ruang kota (dynamic) yang dicapai melalui beberapa tipe disain khas kota beralih kepada kemudahan untuk mengalir (fluidity) yang tidak hanya tergantung pada ruang sebagai medianya namun juga pada lalu lintas (traffic) dan transport antarruang. Perubahan fungsi dari berbagai fungsi yang penuh batas (boundary) dari saling pisah (separation) melebur kedalam bentuk saling berinteraksi (interaction) yang memunculkan pertukaran (exchange). Kota sebagai lahan produksi atau komersial tak berarti lagi tanpa eksistensi fungsi informasi dan pengetahuan. Perubahan gambaran sistem organisasi (image system) dari mesin (machine) yang sangat tergantung dengan konsep awal untuk sebuah fungsi apa ia bergerak beralih kepada konsep pabrik (fabric) yang lebih fleksibel dan beragam. Gubahan strategi disain, dari penemuan (inventing) yang sering mengabaikan sejarah atau tautan konteks bergeser menjadi pembenahan (editing) berupa pengaturan kembali atau pun penyesuaian elemen-elemen kota yang ada. Dengan adanya konsep dari Ohno ini, proses perancangan kota dapat dilakukan dengan lebih mudah dan simple.
Dari beberapa pendekatan dasar yang telah dicanangkan, didapatlah 4 strategi untuk Tokyo di tahun 2050 yang menjadi satu kesatuan dalam sebuah nama ‘Fibercity’. Keempat strategi tersebut adalah sebagai berikut:
1.Jejari hijau (green finger): pengorganisasian kembali daerah ’suburb’ Tokyo yang merana akibat efek penyusutan penduduk. Dengan tetap mempertahankan zona permukiman sepanjang rel kereta yang makin dekat ke stasiun makin padat serta dikelilingi oleh ruang hijau, sehingga membentuk jejaring kota kompak sepanjang jalur rel (transport) yang dihubungkan memusat menuju pusat kota.
2.Partisi hijau (green partition): secara kontinyu membuat daerah pusat kota yang padat dan terdiri dari banyak konstruksi kayu sebagai daerah resiko tinggi saat bencana alam terjadi, menjadi hijau. Jalur hijau dengan lebar minimal 4 m ini disamping sebagai sekat atau partisi meluasnya kerusakan dan kebakaran saat bencana juga bermanfaat sebagai petunjuk jalur evakuasi. Partisi hijau ini bisa memanfaatkan lot-lot kosong yang ‘ditinggal’ oleh penduduk, sehingga hasil akhir rancangan pun belum terlihat secara jelas.
3.Jejaring hijau (green web): membantu mengkonversi fungsi lalu lintas pada jalan raya lingkar di Tokyo menjadi fungsi jalur linier hijau yang berfungsi ganda sebagai jalur bantuan saat terjadinya bencana alam. Meskipun sebenarnya beban kendaraan saat bencana tentu akan lebih besar sekitar 20% tapi karena penyusutan penduduk sekitar 25% maka pengalihfungsian ini masih dianggap layak (feasible).
4.Kerutan kota (urban wringkle) yang diujudkan melalui spot-spot linier khusus atau pun berupa ‘meisho’ di dalam kota yang merepresentasikan optimalisasi ‘dialog’ antara lansekap lingkungan kota dan sejarah yang dibawanya.
Dengan adanya strategi dari Profesor Ohno tersebut, Tokyo kini dapat tetap melakukan pembangunan dengan lancar dan terus berkembang seperti sekarang ini, dan masih tetap terus berkembang.
sumber : http://www.kamusilmiah.com/arsitek/fibercity-disain-kota-tokyo-di-tahun-2050/